Minggu, 04 Januari 2015

Pendidikan pada Masa Politik Etis



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
           
            Berbicara masalah pendidikan tentu kita akan melihat kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang sedang mengalami sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat melihat dari beberapa kali pergantian kurikulum yang terjadi di Indonesia. Sekarang mulai diterapkannya kurikulum baru yang bernama KTSP, yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dalam upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Melihat kenyataan itu tentu kita akan berkaca kepada masa lalu bagaimana proses pendidikan di Indonesia ini dimulai. Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan, pertama dimulai dari praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budha, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonila Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan hingga sekarang.

2. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Peranan Politik Etis Pada Saat itu ?
2.      Bagaimana Pendidikan pada Masa Politik Etis ?

3. Tujuan Penulisan

1.      Kita Dapat Mengetahui Bagamana  Peranan Politik Etis .
2.      Kita Dapat Mengetahui Bagamana Pendidikan pada Masa Politik Etis.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Peranan Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia)

Politik etis dalah suatu haluan politik baru yang berlaku di tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901, yakni setelah ratu belanda melontarkan suatu pernyataan bahwa “Negeri Belanda mempunyai suatu kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk pribumi” tujaun politik colonial baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian secara teoretis “system eksploitasi diganti dengan system pengajaran yang maju”. Orientasi baru itu dikenal dengan namabermacam-macam seperti Ethis (etika), Politik kemakmuran atau politik asosiasi (Ensiklopedia Nasional Indonesia).

Politik kolonial baru itu bukanlah hadiah dari Ratu Belanda tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum etis dan kaum asosiasi yang terjadi pada masa itu di negeri Belanda)pergolakan politik itu Nampak dalam petengahan abad ke-19 berupa perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Hindia belanda. Politik konservatif yang bertujuan menerapkan eksploitasi tanah jajahan bagi Negara induk yang secara konsekuen diterapkan Indonesia itu berupa system tanam paksa atau Culturstelsel.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) danC.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:

  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
  3. Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayimaupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

  1.  Pendidikan pada Masa Politik Etis

Berkaitan dengan “arah etis” (etische koers)  yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakanya pada pokok-pokok pikran sebagai berikut:

a.       Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di Sekolah-sekolah.
b.        Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Atas dasar itu maka corak dan system pendidikan dan persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur tersebut. Disatu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan ajan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu didik bagi keperluan industry dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Ary H, Gunawan, 20).

Secara tegas tujuan pendidikan selama periode colonial memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-urain di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar untuk kepentingan kaum modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang diangkat sebagi pekerja-pekerja kelas dua dan atau kelas tiga.

Menuriut penelitian komisi pendidikan yang dibentuk oleh pemerintah  Hindia-Belanda pada tahun 1918-1928 (“Hollands Onderwijs Commisie”) menunjukan bahwa, 2% orang-orang yang mendapat pendidikan barat berdikari dan lebih dari 83% menjadi pekerja bayaran, serta selebihnya menjadi pengangguran. Diantara yang 83% itu, 45% menjadi pegawai negeri (ambtenaar). Pada umumnya gaji pegawai negeri dan para pekerja, jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji orang barat mengenai pekerjaan yang sama.

Pada masa ini keadaan social Belanda keadaan social sengaja dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang hidup terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada keturunan, bangsa dan status.

  1. Pembagian penduduk menurut hukum pada tahun 1848
Ø  Golongan Eropa
Ø  Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
Ø   Golongan Bumiputera
Ø    Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera

  1. Pembagian pada tahun 1920
Ø  Golongan Eropa
Ø   Golongan Bumiputera
Ø  Pembagian penduduk menurut keturunan atau status social.
Ø  Golongan bangsawan (Aristokrat) dan pemimpin adat.
Ø  Pemimpin agama (ulama)
Ø  Rakyat biasa/jelata (Ary H, Gunawan, 23)
































BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi dan Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan Serta Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka.


B. Kritik dan Saran
            Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami. Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.
















DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.

Gunawan, H Ary.Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Brugman, I.J.Politik Pengajaran

          Http:// Wikipedia.or.wiki/Politik-etis 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar