Minggu, 04 Januari 2015

Sejarah Situs Istana Luwu



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istana bagi sebuah kerajaan adalah tempatnya berdiam Datu ( Raja ) dan para kerabat-kerabatnya,lokasi atau tempat didirikannya, menjadi pusat pemerintahan atau dikenal sebagai Ware di Kerajaan Luwu, sebanbgai mana halnya Istana Datu Luwu yang sekarang ada di Palopo merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu (Ware pada periode ke V) yaitu sesudah dipindahkan dari periode Pao,Patimang Malangke (Ware ke IV). Istana Datu Luwu yang ada di Kota Palopo sekarang merupakan istana yang terakhir. Jika diketahui, sebagai Istana yang terakhir, maka tentu ada istana-istana sebelumnya yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ( Ware ).
Yang menjadi masalah, hal ini kadang diabaikan yaitu dimana Istana Datu atau Kerajaan Luwu yang Pertama, tempat dimana didiami oleh Batara Guru,sebagai sokoguru pemerintahan Datu Luwu. Menurut tradisi dan dipercayai banyak pihak, Luwu dianggap sebagai daerah tertua bagi pemukiman dan merupakan kerajaan yang tertua khususnya di Sulawesi, hal itu menyebabkan daerah ini sangatlah bergengsi.
Istana Luwu berlokasi di tengah Kota Palopo, Pusat Kerajaan Luwu (sekarang salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas "Saoraja" (Istana sebelumnya terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.
B.     Rumusan Masalah
a.       Dimana Lokasi Keberadaan Situs Istana Luwu?
b.      Bagaimana Awal Berdirinya Istana Luwu?
c.       Adakah Benda-benda Peninggalan Sejarah pada Situs Istana Luwu?
d.      Apakah Keistimewaan Situs Istana Luwu?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk Mengetahui Lokasi Keberadaan Situs Istana Luwu
b.      Untuk Mengetahui Awal Berdrinya Istana Luwu
c.       Untuk Mengetahui Benda peninggalan Sejarah pada Situs Istana Luwu
d.      Untuk Mengetahui Keistimewaan Situs Istana Luwu













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lokasi Keberadaan Situs Istana Luwu
Istana Luwu berlokasi di tengah Kota Palopo, Pusat Kerajaan Luwu (sekarang salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas "Saoraja" (Istana sebelumnya terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.
Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa, oleh Pemerintah Kolonial Belanda dimaksudkan untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu tetapi oleh kebanyakan bangsawan Luwu dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.
Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung (Di Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa/Raja yaitu Datu kemudian di tingkat lebih tinggi Pajung). di dekat istana luwu terdapat pula Masjid Jami yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat oleh batu yang disusun.


B.     Awal berdirinya Istana Kerajaan Luwu ( Batara Guru)
Istana bagi sebuah kerajaan adalah tempatnya berdiam Datu ( Raja ) dan para kerabat-kerabatnya, lokasi atau tempat didirikannya, menjadi pusat pemerintahan atau dikenal sebagai Ware di Kerajaan Luwu, sebagai mana halnya Istana Datu Luwu yang sekarang ada di Palopo merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu (Ware pada periode ke V) yaitu sesudah dipindahkan dari periode Pao,Patimang Malangke (Ware ke IV). Dengan pemindahan ibukota tersebut, kerajaan pun mulai berbenah. Istana Langkanae mulai didirikan (istana yang sebenarnya sudah hancur dan yang sekarang bisa kita lihat meupakan replikanya saja) beserta masjid Jami' (karena sebelumnya Datu' dan Luwu telah menganut Islam) dan juga pasar.
Istana Datu Luwu yang ada di Kota Palopo sekarang merupakan istana yang terakhir. Jika diketahui, sebagai Istana yang terakhir, maka tentu ada istana-istana sebelumnya yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ( Ware ). Yang menjadi masalah, hal ini kadang diabaikan yaitu dimana Istana Datu atau Kerajaan Luwu yang Pertama, tempat dimana didiami oleh Batara Guru,sebagai sokoguru pemerintahan Datu Luwu. Menurut tradisi,dan dipercayai banyak pihak, Luwu dianggap sebagai daerah tertua bagi pemukiman dan merupakan kerajaan yang tertua khususnya di Sulawesi, hal itu menyebabkan daerah ini sangatlah bergengsi. Ketuaan Luwu tidak dapat dilihat pada periode ke III ketika Pusat Kerajaan Luwu berpusat di Kamanre di tepi Sungai Noling ( Palopo Selatan atau Kabupaten Luwu sekarang) karena hal tersebut terjadi sekitar abad ke XV,atau ketika pusat kerajaan Luwu berada di Pao,Patimang Malangke karena hal itu juga terjadi pada sekitar abad ke XVI, apalagi jika hal tersebut dilihat ketika pusat kerajaan Luwu berpusat di Palopo karena hal itu baru terjadi ketika memasuki abad ke XVII. Kedatuan Luwu hanya dapat dilihat ketika kerajaan Luwu berpusat di sekitar Wotu lama karena hal tersebut terjadi disekitar abad ke IX sampai abad ke XIII yaitu pada masa kerajaan Luwu pada periode Ware yang pertama.
Kembali pada permasalahan yang ada tentang dimana letak Istana Luwu yang pertama, dan hal ini kadang atau sengaja diabaikan sehingga perhatian kita hanya tertuju dimana Istana Datu Luwu yang ada sekarang, yaitu di Palopo atau yang menjadi Ware. Jika perhatian kita hanya mengarah pada pemahaman ini, dikhawatirkan khususnya para generasi muda wija to Luwu akan asing dengan sejarahnya sendiri, mereka kehilangan jejak, pemahaman tentang Luwu makin sempit, sementara terabaikan jejak perjalanan panjang ketika Ware di Wotu,tempat berpijak awal dari Batara Guru dan keturunannya, ketika Ware di Mancapai dekat Lelewawu selatan Danau Towuti tempat berpijak Datu Luwu Anakaji dan keturunannya, ketika Ware di Kamanre, ditepi sungai Noling sebelah selatan kota Palopo,tempat bepijak Dewa Raja dan keturunannya, ketika Ware di pindahkan ke Pao, di Patimang dan Malangke dimana disini terjadi peristiwa yang sangat besar, yaitu masuknya agama Islam yang diperkenalkan oleh Dato Patimang. Sebagai catatan peristiwa-peristiwa tersebut justru terjadi antara abad ke IX sampai dengan Abad ke XVI Masehi, jadi berlangsung kurang lebih 700 tahun lamanya, terkadang perhatian kita diarahkan atau sengaja diarahkan pada kejadian yang selalu dijadikan fokus perhatian yang tertuju ke Palopo karena kedudukannya sebagai Ware sekarang baru terjadi pada abad ke XVII Masehi. Untuk menghadapi kehawatiran ini kami mencoba mengkajinya dari beberapa penelitian serta cerita tutur yang terpelihara dengan baik di tanah luwu dengan memulai, perhatian dari cikal bakal lahirnya kerajaan Luwu dari periode Luwu Pertama, dengan menunjukan letak Istana Batara Guru.
Anggapan bahwa sebahagian orang, menganggap istana Luwu tempat berdiam Batara Guru yang pertama berada di Cerekeng ( Cerrea), pendapat ini adalah sangat keliru karena masyarakat Bugis menetap di Cerekeng baru pada pertengahan abad ke Limabelas ,( Bulbeck dan Caldwell 2000;99 ) datang melalui Malili sekarang,adapun penduduk yang mendiaminya pada saat itu adalah Wotu, Pamona, To padoe atau Mori dan To Laki itulah sebabnya Malili tidak mempunyai penduduk asli, sehingga menurut Ian Caldwell Tidak ada bukti apapun yang menunjukan masyarakat Bugis di Cerekang maupun Ussu sebelum pertengahan abad ke Lima Belas. Hal ini berarti jikapun ada Identivikasi lokal atas Cerekang sebagai tempat Istana Batara Guru lebih tepat berlaku dari abad ke Enambelas ke atas, Lokasi dari pusat istana Luwu disini dalam tradisi lisan secara nyata adalah penempatan kejadian pada waktu yang salah ( anakronisme ).
Sebagai catatan kata Cerekang adalah terjemahan dari kata Cerrea yang merupakan nama asli Cerekeng. Cerrea dalam bahasa Wotu berarti tempat berpindah atau hijrah,terjadi ketika runtuhnya pusat kerajaan Luwu yang Pertama disekitar Wotu Lama yaitu sekitar Ussu dan Bilassalamoa.Sebagai tambahan menurut Ian Caldwell dalam tulisan “ Kenyataan, Anakrotisme dan Fiksi: Arkeologi bersejarah dan pusat-pusat kerajaan dalam La Galigo” beliau menyatakan “ Hampir pasti bahwa Istana Batara Guru di Cerekang di Teluk Bone Timur adalah sebuah Mitos. Pemukiman Bugis di Cerekang hanya dimulai sekitar kurang lebih tahun 1450, berhubung dengan naiknya peleburan besi dan produksi alat-alat senjata di Matano. Hal ini merupakan suatu godaan untuk beranggapan bahwa masyarakat Bugis di Cerekang telah secara nyata mengadopsi dan mengadaptasi mitos istana Batara Guru dari tetangganya, Wotu yang lebih tua.
Wilayah Wotu dahulu kala adalah tempat dimana Batara Guru turun untuk mendirikan kerajaan pertama. Disini jugalah pohon raksasa (pappua maoge) Welenreng ditebang untuk menbangun perahu Sawerigading (Pelras 1996;59).Pada hal dua tempat di Luwu ini menyatakan bahwa disitulah bukit tempat dimana Istana Batara Guru berdiri.Daerah yang pertama adalah Wotu, sebuah kota kecil yang berbicara dalam bahasa daerah sendiri yang memiliki hubungan kausal dengan Kaili, Buton dan Selayar, identifikasi lainnya adalah bukit Pensimewoni yang terletak ditikungan sungai Cerekang.
Di Istana Luwu terdapat dua bangungan, yaitu Langkanae dan Salassae. Langkanae adalah sebutan kata lain dari istana. Langkanae ini dijadikan cagar budaya buatan Belanda untuk menggantikan Langkane yang dulu. Belanda membangunnya untuk kedatuan ketika Langkanae terbakar. sedangkan Salassae adalah tempat pertemuan atau perjamuan para tamu-tamu istana.
Pada zaman dahulu bumi terbagi atas 3 dunia yaitu, dunia atas yang di pimpin oleh Dewata Patotoe, dunia bawah di pimpin oleh saudara Dewata Patotoe yaitu Ri Selleng, dan dunia tengah masih kosong pada saat itu. Suatu waktu Dewata Patotoe mengadakan pertemuan. Hasil pertemuan Dewata Patotoe tersebut yaitu harus mengirim satu anaknya, dan terpilihlah anak Dewata Patotoe yaitu Batara Guru. Batara Guru kemudian di turunkan di dunia tengah yaitu  Daerah Luwu tanpa membawa apapun dan tidak menggunakan pakaian. Ketika Batara Guru turun ke dunia tengah, Batara Guru menjalani kehidupan yang sangat sulit karena Batara Guru harus merasakan penderitaan sebelum rakyatnya menderita. Karena kasihan melihat penderitaan anaknya, diturunkanlah semua atribut-atribut dan diturunkan Langkanae beserta atribut-atribut kedatuan. Setelah Langkanae diturunkan, maka diutuslah anak dari Dewata Ri Selleng (dunia bawah) yaitu We Nyilitomo debagai pendampingnya. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’ yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai Datu kedua di Luwu.
Setelah batar Lattu’ cukup dewasa, dia dikawinkan dengan We Datu Sengeng anak dari La Urumpassi dan We Padauleng di Tompotikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali ke langit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka dibesarkan pada tempat yang terpisah dalam istana kerajaan. Sawerigading menikahi salah seorang putri di Cina yaitu We Cudai atas usu adiknya We Tenriabeng. Dari perkawinan mereka lahirlah putra yang bernama Lagaligo.
  1. Benda-benda Peninggalan yang Ada di Istana Luwu
Di dalam Istana Kedatuan Luwu terdapat berbagai benda pusaka. Di antaranya, terpajang dalam lemari kaca, sertifikat Pahlawan Nasional RI bagi (almarhum) Andi Jemma ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004. 
Ada boneka sepasang manekin berpakaian pengantin ala Luwu. Pelaminan khas adat setempat. Silsilah 23 generasi Pajung-e ri Luwu atau pohon famili dari raja-raja Kedatuan Luwu. Juga terpampang legenda Batara Guru.            
Tersimpan beragam senjata pusaka berupa keris. Di dalam lemari kaca, terpajang piring antik, alat musik kecapi, guci, keramik, dan bosara’ (wadah penyimpan panganan tradisional). Susunan raja-raja Kedatuan Luwu turut menghiasi dinding.
Peninggalan yang ada di Istana Luwu tidak berupa Mahkota, tetapi berbentuk Besi Pakka dan Bunga Waru, yang hanya dipakai oleh datu, yang merupakan simbol Dewata Matenruliwawo. Di Istana Luwu juga terdapat Songko’ Pameri.
  1. Keistimewaan Situs Istana Luwu
Keistimewaan situs Istana Luwu ini yaitu terletak dari segi lokasinya yangterletak di pusat Kota Palopo. Dan situs ini berdekatan dengan Masjid Tua Jami’ yang menandakan bahwa sebelumnya Datu dan Luwu telah menganut agama Islam.




BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Istana Luwu berlokasi di tengah Kota Palopo, Pusat Kerajaan Luwu (sekarang salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas "Saoraja" (Istana sebelumnya terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.
Di Istana Luwu terdapat dua bangungan, yaitu Langkanae dan Salassae. Langkanae adalah sebutan kata lain dari istana. Langkanae ini dijadikan cagar budaya buatan Belanda untuk menggantikan Langkane yang dulu. Belanda membangunnya untuk kedatuan ketika Langkanae terbakar. sedangkan Salassae adalah tempat pertemuan atau perjamuan para tamu-tamu istana.
Di dalam Istana Kedatuan Luwu terdapat berbagai benda pusaka. Di antaranya, terpajang dalam lemari kaca, sertifikat Pahlawan Nasional RI bagi (almarhum) Andi Jemma ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004. 
Peninggalan yang ada di Istana Luwu tidak berupa Mahkota, tetapi berbentuk Besi Pakka dan Bunga Waru, yang hanya dipakai oleh datu, yang merupakan simbol Dewata Matenruliwawo. Di Istana Luwu juga terdapat Songko’ Pameri.
  1. SARAN
Laporan penelitian ini masih jauh dari kata sederhana, jadi kami sebagai penulis, memohon saran dari para kawan-kawan untuk menyempurnakan laporan penelitian ini.














LAMPIRAN
  1. Gerbang Masuk Istana Luwu
  1. Gambar Langkanae


  1. Gambar Pekarangan Istana Luwu
  1. Gambar Salassae

  1. Gambar Tugu Badik yang Terletak di Depan Langkanae










DAFTAR PUSTAKA
Istana Luwu - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
Sawerigading – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm\
Benda  Pusaka di Istana Kedatuan Luwu  - m.okezone.com
Kerajaan Luwu adalah Kerajaan Tertua – www.facebook.com
Sejarah Nama Kota Palopo – Fhyfipuspitaherman.blogspot.com
Catatan Hasil Praktek Lapangan di Istana Luwu


ANTROPOLOGI SEBAGAI ILMU MURNI ATAU TERAPAN



                                                                                    Makassar, 28 April 2014
Nama              : Mardianto Adi Saputra
Nim                 : 1362042010
Kelas               : B
Jurusan          : Sejarah
Kampus          : Universitas Negeri Makassar
ARTIKEL
                  TENTANG ANTROPOLOGI SEBAGAI ILMU MURNI ATAU TERAPAN
Sebelum manusia mengenal ilmu pengetahuan (science), manusia lebih dulu mengenal pengetahuan (knowledge). Pengetahuan sendiri adalah segenap yang diketahui manusia sebagai hasil kerja pancainderanya contohnya pengetahuan tentang bintang di langit karena melihatnya dimalam hari, tapi tidak semua pengetahuan dapat diperoleh hanya dengan mengandalkan hasil kerja pancaindera saja, ada pengetahuan yang cara memperolehnya harus melalui cara-cara yang bersifat sistematis dengan menggunakan logika dan telah teruji secara obyektif kebenarannya. Pengetahuan yang demikian disebut dengan ilmu Pengetahuan (science) contohnya pengetahuan tentang cara membuat pesawat terbang. Berdasarkan obyeknya ilmu pengetahuan terdiri dari ilmu alam, ilmu sosial, humaniora dan matematika. Sedangkan berdasarkan penerapannya ilmu pengetahuan terdiri dari pure science (ilmu murni) dan applied Science (ilmu terapan).

1.      Antropologi sebagai ilmu terapan (applied science)
Pendidikan merupakan ilmu yang relative baru dalam perkembangannya, meskipun proses pendidikan sudah dilaksanakan sejak manusia itu ada. Perkembangan ilmu pendidikan sangat tergantung pada perkembangan ilmu lainnya, terutama; psikologi, sosiologi, antropologi, dan komunikasi serta ilmu sosial lainnya. Jadi Antropologi merupakan ilmu terapan. Dengan bersandarnya ilmu pendidikan pada ilmu lainnya, maka ilmu pendidikan dikategorikan sebagai ilmu terapan (applied science). Artinya ilmu ini berkembang untuk diterapkan secara langsung atau memecahkan berbagai persoalan dalam bidang pendidikan dengan menggunakan pendekatan, atau meminjam teori-teori dasar dari berbagai disiplin ilmu lainnya (ilmu murni). s
2.      Sosiologi antropologi sebagai ilmu murni (pure science)
Berbeda dengan antropologi dikategorikan sebagai ilmu murni. Ilmu murni memiliki makna nahwa perkembangan ilmu tidak semata-mata didasarkan untuk kepentingan pemecahan masalah yang ada di masyarakat, melainkan sebagai bahan dasar dalam membentuk sebuah pengetahuan yang sempurna dalam memahami persoalan yang berkaitan dengan objek formalnya. Dengan demikian tugas utama dari ilmu murni ini lebih kepada bagaimana mengembangkan konsep dan teori-teori sehingga tingkat keajegan (validitas) teori tersebut semakin tinggi atau sempurna. Teori-teori yang dikembangkan oleh ilmu murni ini biasanya menjadi sandaran atau paying dalam pengembangan dan implementasi ilmu terapan.
Sumber :
http://madigabungan.blogspot.com/2011/04/sosiologi-dan-antropologi.html

Pendidikan pada Masa Politik Etis



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
           
            Berbicara masalah pendidikan tentu kita akan melihat kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang sedang mengalami sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat melihat dari beberapa kali pergantian kurikulum yang terjadi di Indonesia. Sekarang mulai diterapkannya kurikulum baru yang bernama KTSP, yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dalam upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Melihat kenyataan itu tentu kita akan berkaca kepada masa lalu bagaimana proses pendidikan di Indonesia ini dimulai. Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan, pertama dimulai dari praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budha, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonila Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan hingga sekarang.

2. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Peranan Politik Etis Pada Saat itu ?
2.      Bagaimana Pendidikan pada Masa Politik Etis ?

3. Tujuan Penulisan

1.      Kita Dapat Mengetahui Bagamana  Peranan Politik Etis .
2.      Kita Dapat Mengetahui Bagamana Pendidikan pada Masa Politik Etis.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Peranan Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia)

Politik etis dalah suatu haluan politik baru yang berlaku di tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901, yakni setelah ratu belanda melontarkan suatu pernyataan bahwa “Negeri Belanda mempunyai suatu kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk pribumi” tujaun politik colonial baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian secara teoretis “system eksploitasi diganti dengan system pengajaran yang maju”. Orientasi baru itu dikenal dengan namabermacam-macam seperti Ethis (etika), Politik kemakmuran atau politik asosiasi (Ensiklopedia Nasional Indonesia).

Politik kolonial baru itu bukanlah hadiah dari Ratu Belanda tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum etis dan kaum asosiasi yang terjadi pada masa itu di negeri Belanda)pergolakan politik itu Nampak dalam petengahan abad ke-19 berupa perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Hindia belanda. Politik konservatif yang bertujuan menerapkan eksploitasi tanah jajahan bagi Negara induk yang secara konsekuen diterapkan Indonesia itu berupa system tanam paksa atau Culturstelsel.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) danC.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:

  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
  3. Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayimaupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

  1.  Pendidikan pada Masa Politik Etis

Berkaitan dengan “arah etis” (etische koers)  yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakanya pada pokok-pokok pikran sebagai berikut:

a.       Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di Sekolah-sekolah.
b.        Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Atas dasar itu maka corak dan system pendidikan dan persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur tersebut. Disatu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan ajan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu didik bagi keperluan industry dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Ary H, Gunawan, 20).

Secara tegas tujuan pendidikan selama periode colonial memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-urain di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar untuk kepentingan kaum modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang diangkat sebagi pekerja-pekerja kelas dua dan atau kelas tiga.

Menuriut penelitian komisi pendidikan yang dibentuk oleh pemerintah  Hindia-Belanda pada tahun 1918-1928 (“Hollands Onderwijs Commisie”) menunjukan bahwa, 2% orang-orang yang mendapat pendidikan barat berdikari dan lebih dari 83% menjadi pekerja bayaran, serta selebihnya menjadi pengangguran. Diantara yang 83% itu, 45% menjadi pegawai negeri (ambtenaar). Pada umumnya gaji pegawai negeri dan para pekerja, jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji orang barat mengenai pekerjaan yang sama.

Pada masa ini keadaan social Belanda keadaan social sengaja dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang hidup terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada keturunan, bangsa dan status.

  1. Pembagian penduduk menurut hukum pada tahun 1848
Ø  Golongan Eropa
Ø  Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
Ø   Golongan Bumiputera
Ø    Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera

  1. Pembagian pada tahun 1920
Ø  Golongan Eropa
Ø   Golongan Bumiputera
Ø  Pembagian penduduk menurut keturunan atau status social.
Ø  Golongan bangsawan (Aristokrat) dan pemimpin adat.
Ø  Pemimpin agama (ulama)
Ø  Rakyat biasa/jelata (Ary H, Gunawan, 23)
































BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi dan Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan Serta Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka.


B. Kritik dan Saran
            Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami. Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.
















DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.

Gunawan, H Ary.Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Brugman, I.J.Politik Pengajaran

          Http:// Wikipedia.or.wiki/Politik-etis